Tuesday 12 July 2011

Smile ^.^

Senyumlah karena "Senyummu dihadapan saudaramu adalah shodaqoh"
Disaat sedih, tersenyumlah karena "La Tahzan Innallaha Ma'ana"
Disaat terhimpit dengan berbagai masalah, tersenyumlah karena "Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya"
Disaat kau menghadapi cobaan yang berat, tersenyumlah karena "Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan"
Senyumlah karena "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka (At Taubah: 111)"

Seperti kata abang-abang di Raihan,

Manis Wajahmu Kulihat Di Sana
Apa Rahasia Yang Tersirat
Tapi Zahirnya Dapat Ku Lihat
Mesra Wajahmu Dengan Senyuman

Senyuman..Senyuman..
Senyum Tanda Mesra
Senyum Tanda Sayang
Senyumlah Sedekah Yang Paling Mudah

Senyum Di Waktu Susah
Tanda Ketabahan
Senyuman Itu Tanda Keimanan
Senyumlah Senyumlah Senyumlah Senyumlah..

Hati Yang Gundah Terasa Tenang
Bila Melihat Senyum Hatikan Tenang
Tapi Senyumlah Seikhlas Hati
Senyuman Dari Hati Jatuh Ke Hati

Senyumlah..Senyumlah..
Senyumlah Seperti Rasulullah
Senyumnya Bersinar Dengan Cahaya
Senyumlah Kita Hanya Kerana Allah
Itulah Senyuman Bersedekah

Senyumlah Senyumlah Senyumlah Senyumlah..
Itulah Sedekah Yang Paling Mudah
Tiada Terasa Terhutang Budi
Ikat Persahabatan Antara Kita
Tapi Senyum Jangan Disalah Guna
Senyumlah Senyumlah Senyumlah Senyumlah......



Smile itu judul di site multiply saya,, tapi karena themes nya di ubah jadi tulisan "Smile ^,^" nya gak keliatan deh. sedih, huhuhu.. (tapi dengan tetap tersenyum )

Tuesday 5 July 2011

Sergapan Rasa Memiliki

Sergapan Rasa Memiliki

..milik nggendhong lali..
rasa memiliki membawa kelalaian
-peribahasa Jawa-

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.


Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.
Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan..

Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..