Masih inget banget. Dulu saya pernah curcol ke temen2 liqoan mengenai
boleh atau enggak naik ojeg. MR dan teman-teman liqoan beranggapan,
kalau dalam kondisi darurat dan urgent gapapa naik ojeg daripada
boncengan sama teman lawan jenis. Pendapat saya waktu SMA dan mulai
sangat terbentuk ketika KAPMI bahwa gak boleh akhwat naik ojeg karena
itu tetap ikhtilat apapun alasannya. Tapi melihat kenyataan di kampus
banyak sekali teman-teman akhwat yang naik ojeg, Saya jadi binguuuungg.
Saya pun pernah sekali naik ojeg di kampus karena telat kuliah dan
setelah itu saya menyesal. hufttt..
Kadang merasa, alasan-alasan itu adalah bentuk pemakluman atas kemalasan diri. Kalau kita lebih takut atas murka Allah, tentu saja kita akan memilih berjalan kaki atau alternatif lainnya selain naik ojek ataupun berboncengan dengan yang bukan mahram. Tapi tetap saja, sering diri ini terkalahkan atas pemakluman yang dibesarkan atau lebih tepatnya kemalasan yang sangat. hufttt
Dan tadi ketika membaca eramuslim, saya melihat artikel seorang akhwat tentang "akhwat naik ojeg". kepada mba ike, penulis artikel tersebut, izin yah mba buat sharing2 ^^
Akhwat Naik Ojeg
Kadang merasa, alasan-alasan itu adalah bentuk pemakluman atas kemalasan diri. Kalau kita lebih takut atas murka Allah, tentu saja kita akan memilih berjalan kaki atau alternatif lainnya selain naik ojek ataupun berboncengan dengan yang bukan mahram. Tapi tetap saja, sering diri ini terkalahkan atas pemakluman yang dibesarkan atau lebih tepatnya kemalasan yang sangat. hufttt
Dan tadi ketika membaca eramuslim, saya melihat artikel seorang akhwat tentang "akhwat naik ojeg". kepada mba ike, penulis artikel tersebut, izin yah mba buat sharing2 ^^
Akhwat Naik Ojeg
Demam
ojeg melanda, seiring perkembangan permotoran Indonesia yang lagi
booming. Sudah tentu booming motor ini terlahir dari lingkaran tak
berujung di antara titik-titik korupsi kecil-kecilan (kecil-kecilan atau
besar?), jalan yang bolong-bolong, aturan lalu lintas yang diitegakkan
hangat-hangat tahi ayam (misal lagi musim safety belt, polisi sibuk menilang yang gak pake sabuk yang gak pake helm dicuekin, kalo lagi musim helm polisi sibuk nilang para pengendara motor, yang gak pake sabuk dicuekin, jadi esensi penegakkan aturan lalu lintas kita adalah duit!), dan cara mengkredit motor yang asoy, hingga motor laku bak gorengan di musim penghujan, laris manis.
Sampe-sampe
tukang delman langganan saya, pak Alan, bilang "Jaman ayeuna mah neng
gampil pisan meser motor teh. barudak teh mun tos gaduh opat ratus
(rebu) tos tiasa kenging motor enggal, ojegkeun weh, tah mun artosna
tos seep keun wae antepkeun cicilan teu kedah dibayar ngantosan dijabel
we. Engke mun tos gaduh artos deui, nyandak deui cicilan motor nu
enggal, anggo we motorna nepikeun ka dijabel deui..." (halah...)
***
Demam
ojeg telah melindas penghasilan kecil tukang delman langganan saya,
dibanding delman, ojeg lebih murah, lebih gesit, dan lebih gampang
nyarinya, karena sekarang pangkalan ojeg tumbuh subur di mana-mana.
Demam
ojeg juga telah melindas para sopir angkot. Karena kalo dulu
persaingannya hanya sebatas sesama angkot, sekarang kompetitornya
bertambah dengan hadirnya ojeg-ojeg yang bisa nangkring di mana saja.
Dan
diam-diam ternyata demam ojeg juga turut merambah dunia da'wah. Karena
ternyata tak sedikit aktvis da'wah, kader da'wah akhwat juga turut
menjadi pelanggan setia ojeg. Dengan alasan efisiensi, darurat, atau
gak ada angkot. Kini kita melihat ada akhwat yang tak segan-segan naik
ojeg datang ke tempat ngaji.
Saya sering bertanya-tanya sendiri,
memang sebenarnya sedarurat apakah kondisi yang membolehkan akhwat naik
ojeg? Apakah karena khawatir telat datang liqa'/ta'lim maka itu
termasuk kondisi darurat yang mengondisikan ojeg is fine ?
Pernah juga seorang ummahat
ketemu saya, beliau sedang naik ojeg, lalu ketika bertemu saya, beliau
berpesan dengan kemalu-maluan, "teh jangan bilang-bilang ya kalo saya
tadi naik ojeg, karena suami saya orangnya pencemburu," dalam hati
saya, "kalo udah tau suaminya gak akan ridha, kenapa dia naik ojeg?"
Saya
merasa aneh juga dengan diri saya sendiiri, karena bukan sekali-dua
saya melihat akhwat/ummahat naik ojek, saya jadi 'cemas', jangan-jangan
saya yang ketinggalan zaman nih, sekarang makin banyak aja
akhwat/ummahat yang ngojek tapi ayem-ayem aja, kenapa saya yang cuma
liat aja merasa gak enak ya? jangan-jangan cuma saya yang gak enak,
jangan-jangan emang sekarang, sebenarnya tanpa saya sadari, keadaan
sudah darurat, datang ta'lim, liqa, dll adalah manhaj darurat sehingga
saya udah ketinggalan manhaj!
Heran juga saya, di sebuah SDIT,
seorang ibu gurunya datang dengan dibonceng ojeg, tidak habis pikir
juga saya, bagaimana sang ibu guru menjelaskan konsep hijab pada
anak-anak yang seharusnya dikenalkan pada anak-anak. Bukankah hikmah
terbaik disampaikan dengan teladan? Alangkah bijak jika anak melihat bu
gurunya mengusahakan dirinya dalam menjaga hijab atau jangan-jangan
ini pandangan saya aja yang masih kolot.
Pernah juga iseng saya
bertanya pada suami, "bi, kalo abi liat ummi naik ojeg gimana?", saya
menanti jawaban dengan harap cemas, jawaban suami saya singkat,
"janganlah!" Alhamdulillah, sesuai benar dengan hati saya,
karena saya memang tak ingin suami saya membolehkan begitu saja
istrinya ini dibonceng laki-laki lain (tukang ojek) kalo enggak 'darurat-darurat banget'.
Jadi ternyata demam ojeg juga sudah melindas kitakah ?
Husnudzhan
saya, mungkin ketika saya melihat akhwat naik ojek, beliau sedang
dalam kondisi amat darurat dan semoga kondisi darurat ini enggak sering
melanda kita, apalagi jadi langganan (langganan darurat).
wallahu a'lam bish shawwab.
Semoga saya tidak berada pada kondisi darurat yang mengharuskan ngojek.
No comments:
Post a Comment